Jumat, 17 Februari 2012

Merokok

Sewaktu kecil, kalo so badapat rokok di jalan, beh jangan harap te mau diambil itu rokok. Bahkan kalo ada puntung rokok masih panjang, dipungut juga. Saya tidak tahu, itu kebiasaanku atau tidak yang jelas seingat saya pernah beberapa kali begitu.
Tapi kalo merokok waktu kecil, merokoknya sama teman-teman. Pernah juga merokok sama kakaku, di rumahnya orang yang belum jadi. Namanya juga anak-anak pasti merokoknya sembunyi-sembunyi. Kalo so bahirup ini batang, kanan kiri diperhatikan jangan sampe ada orang yang liat.
Di kelas enam SD, sering sekali hampir setiap malam kitorang mejeng. Te tau apa ini pra puber atau puber. Di waktu mejeng-mejeng itu, biasanya ada teman yang membeli rokok. Merokoklah kami di dalam gedung Majelis Taklim Desa. Ada yang merokok di bawa meja atau ada di tempat agak terbuka, tapi si kalo so habis diisap, tangan ditaro di belakang, rokok di sembunyi balik telapak tangan.
Saat Tsanawiyah, saya sudah tidak lagi menghirup itu si asap nikotin. Meskipun biasanya ada yang ajak merokok, tapi tidak separah waktu SD. Di Tsanawiyah saya rasa saya pernah merokok tapi saya lupa. Yang jelas ketika Tsanawiyahlah saya berhenti merokok.
Kenapa berhenti? Ini berawal dari masa dimana saya mengalami “gangguan mental”. Di saat itu saya takut sekali dengan kematian. Di saat yang sama, saya juga jadi alim-alim. Saya selalu Shalat di masjid, kecuali subuh dan zhuhur. Nah pernah saya mimpi kalo saya merokok maka saya akan mati. Wah jadi seram itu rokok saya liat. Mimpi itu basugesti saya untuk tidak merokok. Akhirnya saya tidak mau lagi isap rokok.
Tapi waktu Aliyah, saya lagi-lagi pernah mengisap rokok. Itu karena saya diajak teman. Karena lama sudah tidak merokok, akhirnya saya jadi perokok pasif. Saya punya tetangga (teman merokok waktu MTs) dia kasih saya menghirupnya sekali saja. Waktu saya isap saya tabatuk-batuk pissiiiii. Nah waktu di Aliyah itu, ada teman bakasih saya rokok. Biasanya habis dua batang untuk saya. Tapi sebenarnya saya batahan batuk, supaya tidak dibilang cemen. Dasar Namango... Teman akrabku itu, waktu kelas dua Aliyah pindah sekolah, gara-gara bakalai sama teman sekelasku yang lain. Dari situ saya sudah tidak merokok lagi sampai sekarang...
Ketika kelas tiga Aliyah. Saya sudah mulai menjalan sedikit-sedikit beberapa syariat. Salah satunya, prinsip yang saya pegang; merokok itu HARAM.
Pelajaran
*Agak Serius
Mengapa saya waktu kecil merokok? Perlu diketahui, itu saya anggap karena papa saya dan kakak saya yang paling tua adalah perokok. Dari sana, sebagai anak-anak saya pasti bertanya apa sih enaknya merokok. Itu sudah keniscayaan. Dimana-mana anak-anak pasti ingin mengetahui kebiasaan di lingkungannya. Kalau perempuan tentunya tidak begitu karena mereka cenderung melihat kebiasaan ibunya.
Itu juga yang terjadi dengan anak-anak yang lain di lingkunganku. Mereka semua pernah merokok karena melihat kebiasaan orang tuanya atau lingkungannya. Saya yakin semua anak-anak pasti punya keinginan ingin mengetahui bagaimana rasanya merokok. Hanya saja, ada tekanan dari orang tua, anak-anak tak boleh merokok, akhirnya merokok pun dilakukan di tempat tersembunyi. Hati-hati kepada orang tua, awasi anak kalian karena boleh jadi di saat bermain mereka menemukan sepuntung rokok dan dihirupnya ditempat sepi. Dan kebiasaan itu mereka lakukan hingga tiba waktunya ia dilegalkan untuk merokok.
Proses saat dia dilegalkan merokok juga, itu bukan karena, orang tua mengatakan “silakan merokok dari sekarang!” . Tapi karena orang tua baru tahu, kalau anaknya rupanya sudah merokok. Saya yakin setiap perokok awalnya sembunyi-sembunyi lalu kemudian berani menampakkan diri di masyarakat dan akhirnya di keluarga. Itu bukan proses yang sebentar. Mungkin tiga tahun pertama sembunyi-sembunyi yaitu saat SD-SMP. Lalu tiga tahun kedua di masyarakat saat SMA dan ketika kuliah ia sudah memberanikan diri merokok di teras rumah dan akhirnya di dalam rumah. Menurutku mungkin 95 persen siswa SMA,75 persen siswa SMP, atau 50 persen anak SD sudah pernah menghisap rokok. Saya berpendapat itu adalah angka saat saya kecil dulu, dimana iklan rokok belum terlalu menyebar dimana-mana seperti sekarang ini.
Barangkali orang yang sudah kecanduan rokok hanya bisa berhenti merokok karena terapi ataupun sugesti. Dan tak banyak orang yang mau diterapi merokok, karena mereka merasa merokok sudah menjadi kebutuhan primer. Tanpa itu serasa makanan pun tak enak. Jika kita menderet aneka makan lezat mungkin rokok menjadi pilihan utama. Bahkan ada teman saya yang ditimpa musibah penyakit jantung (stadium 1), merasa jengkel kepada dokter, karena dia disuruh berhenti merokok.
Hanya orang betul-betul punya kemauan yang bisa berhenti dari itu. Atau mereka yang tersugesti. Misalnya, ketika merokok dia akhirnya sakit paru-paru dan di bawah ke rumah sakit. Dari sana dia berhenti merokok.
Namun mereka yang sudah diterapi ataupun tersugesti kadang kembali lagi merokok kalau lingkungannya pun tak mendukung. Ambil contoh, seperti saya tadi, meskipun saya perokok pasif, saya terbawa oleh teman. Dan ketika teman saya pergi baru saya bisa lega untuk tak merokok lagi.
Bagi perokok aktif berhenti dari aktivitas ini sangat-sangat tidak gampang. Pesan di bungkusan rokok pun tidak ada apa-apanya. Bahkan ketika rokok diharamkan oleh ulama, dicarilah ulama atau kiai perokok untuk memberikan fatwa melegalkan rokok. Ya sudahlah sulit kalau begini jadinya.

Di akhir kalimat, saya ingin menceritakan pengalaman saat kuliah. Ketika itu, seorang teman menawarkan saya rokok. Saya menolaknya.
Dia tanya ke saya,”Hah kamu tidak merokok?”.
Saya jawab,”iya.”
“Laki-laki tidak merokok. Bencong!” ejeknya.
Saya tidak tersindir dengan itu. Memang itulah gambarannya bagi orang yang tak merokok. Yang merokok dianggap sebagai laki-laki sejati, sebagaimana yang dipropagandakan sebuah iklan rokok. Namun saya tetap menjawabnya, untuk menanggalkan image orang tidak merokok.
“Hehehe kamu salah, yang bencong itu malah orang yang merokok. Melawan satu batang rokok saja (berhenti merokok) tidak mampu.”
Dia diam seakan berpikir sesuatu... dan tak bisa membalas apa yang saya katakan.

Selasa, 27 Desember 2011

Kekerasan

Kekerasan bukan lagi peristiwa anomalis di negeri ini. Kekerasan sudah menjadi gambaran setiap harinya. Bangsa ini kian rapuh, hilang kasih sayangnya.
Keluarga, sebagai komponen terkecil di masyarakat, tonggos prinsipnya, sakinah mawadah wa rahmah sekadar kalimat indah. KDRT menimpa sana-sini. Keluarga teladan, kurang dilirik mata. Akhirnya, bunuh diri, bunuh anak, bunuh istri, bunuh suami, bunuh ayah, bunuh ibu, bunuh...
Barangkali keluarga membutuhkan, teladan masyarakat. Namun apa yang dilihat tak begitu melegakan. Bagi wanita, sakit sungguh sakit, ketika lidah-lidah tetangga berkata-kata tanpa kontrol. Kabar burung masing-masing dibicarakan di teras-teras rumah, di pintu pagar, di halaman, di taman, di depan gerobak tukang sayur, dan dimana-mana. Sementara para lelaki gampang terprofokasi. Gara-gara salah paham, perang wilayah terjadi.
Mungkin tokoh agama adalah solusinya. Tapi ah rupanya, di negara ini agama bisa menjadi alasan untuk melakukan kekerasan. Seringkali atas nama agama, kekerasan bahkan perang terjadi. Pemimpin agama pun, menyelesaikan ini bukan sebagai penengah, namun konfrontatif. Muncullah radikalis dan liberalis... yang hanya memunculkan kekerasan kekerasan baru dalam agama.
Lalu, kemana lagi harus mencari kedamaian? Pada pemerintah barangkali. Namun lagi-lagi disana kita dikibulin. Pilkada rusuh dimana-mana, karena sikap pembelaan simpatisan yang berlebihan. Anehnya pemimpin bangsa ini diam. Mereka yang dikata “calon” membiarkan dan mendukung aksi kekerasan ini.
Lagi, di parlemen, olok-olok, kata menjijikkan dan umpatan keluar dengan leluasa dari mulut mereka. Bahkan, adu jotos pun kerap dipertontonkan. Ya Allah.... dimana kedamaian?

Jumat, 21 Oktober 2011

Award ala Infotainment, Mengapa?

Ketika infotainment masih menjadi perdebatan apakah masuk dalam praktek jurnalisme atau tidak, infotainment semakin berani menciptakan gaya-gaya baru jurnalisme – jika memang diakui sebagai praktek jurnalistik.
Sebelumnya, perdebatan infotainment selalu di persimpangan jalan. Sebab infotainment kerap kali menayangkan rahasia pribadi para selebriti kita, mulai dari gaya hedonisme, perselingkuhan, pisah ranjang, kehamilan di luar nikah, perkalahian, pelecehan seksual, cara pacaran, gaya rambut, gaya berpakaian, sakit perut, sakit kepala, sampai pada bentuk tubuh. Sementara mereka merasa ini adalah jurnalisme gaya baru yang merupakan kebutuhan publik.
Mungkin bagi para jurnalis umum adalah anomalis. Diakui, produksi-produksi infotainment ini, dari segi kuantitas mengalahkan jumlah tayangan-tayangan berita regular pada stasiun televisi kita.
Saat ini saja terdapat tak kurang dari 26 acara infotainment. Dalam sehari tersuguh 15 sampai 23 tayangan infotainment di sembilan stasiun televisi. Yang berarti dalam seminggu tak kurang dari 150 tayangan yang disodorkan kepada pemirsa.
Kembali kepada karya baru tadi, tahun ini, tepat 16 Oktober kemarin, TRANS-TV, merayakan Insert 8th Anniversary, tentunya dengan ajang Award. Beberapa kategori yang membuat kita tak habis pikir, diantaranya, Sexiest Female Celebrity, Sexiest Male dan Hottest Gossip 2011.
Dalam award ini, beberapa artis yang mereka beritakan buruk perangainya juga turut mendapat penghargaan, terutama dalam Hottest Gossip. Bagaimana mungkin, seseorang membuat kasus yang buruk di mata publik mendapatkan penghargaan? Penghargaan kepada mereka yang buruk perangainya mungkin hanya lewat jalur infotainment.
Ini jelas sama sekali tak mendidik. Tak mendidik bagi masyarakat, dan tentunya tak mendidik pula bagi artis tersebut. Bagaimana tidak? Artis yang disajikan selingkuh di depan publik, lari dari rumah, membangkang dari orang tua, hamil di luar nikah, melakukan kekerasan, pernah diseret ke pengadilan, dan pernah dilaporkan ke Dewan Pers, dianggap pantas dinominasikan dalam ajang itu?
Bisa dibayangkan jika artis ini mendapatkan reward, atau walau sekedar nominator, tak menutup kemungkinan artis ini akan mempertahankan “prestasi” itu. Tentunya sengaja menciptakan konflik dengan artis lain. Akhirnya, tak menutup kemungkinan pula, artis-artis yang lain terdorong melakukan hal yang sama. Maka boleh jadi kedepan, publik kita akan dihibur oleh puluhan kasus baru artis setiap harinya.
Praktek infotainment ini memang tidak lazim. Sebab dari berbagai literatur jurnalistik, rana privacy yang dibuka tanpa pertimbangan kepentingan umum, adalah hal yang tidak patut dipublikasikan. Sampai saat ini, kita tak pernah mendapatkan satu alasan apapun, mengapa kehidupan tumah tangga artis mesti dipublikasikan. Anehnya lagi kini, mereka yang diberitakan selingkuh itu diakui perlu mendapatkan penghargaan lewat ajang raksasa. Apa urgensinya bagi masyarakat?
Alasan media infotainment yang mengatakan, bahwa artis adalah figur yang mesti diketahui kasusnya oleh publik, supaya masyarakat dapat menyaring artis yang layak mereka idolakan, kini menjadi mandul. Karena bukannya menjadi “cambuk” bagi artis bersangkutan, malah menjadi motivator bagi keburukannya. Jadi alasan itu sangat dibuat-buat.
Dalam perhelatan ini, lagi-lagi sensualitas artis dianggap sangat layak dipuja-puji. Jikalau Miss Universe “malu-malu” mengaku bahwa dalam “ajang putri” itu keseksian dan kemolekan adalah penilaian penting, maka di infotainment hal itu dilakukan secara terang-terangan dalam satu nominasi khusus.
Nampaknya, para liberalis tak habis akal mengampanyekan faham cabul. Ketika, situs porno diblokir dan tayangan cabul dilarang, maka para kapitalis menciptakan sarana baru. Tak perlu ditayangkan secara terjadwal dalam program acara khusus, cukup dengan menominasikan artis terseksi. Dengan ini, secara otomatis menjadikan nama mereka besar di mata publik, sekali tayang diingat sepanjang masa. Itu juga akan memotivasi artis seksi yang masuk dalam nominasi ataupun tidak untuk bersaing.
Goal setting media infotainment memang sangat kentara. Karena selama ini yang menjadi sasarannya adalah ibu rumah tangga, remaja putri dan anak-anak, sebab mereka lebih sering di rumah atau di depan televisi. Hasilnya, untuk anak-anak pun sudah sangat nampak, seperti yang dilansir Harian Kompas Edisi 26 Januari 2006 silam, anak-anak sudah terbiasa dengan kata-kata, seperti “kutukan”, “anak durhaka”, “nikah siri”, “selingkuh”, “istri simpanan” suatu bahasa yang amat jarang digunakan oleh media massa kita sebelumnya.
Perdebatan tentang pornografi memang sampai saat ini belum usai; antara seni yang harus dikembangkan dan keuntungan ekonomi yang didapatkan. Namun kita mesti sadar, di sisi lain ada moral yang harus dijaga.
Di Indonesia, tayangan porno hampir menjadi lumrah, kalaupun dihentikan mereka tetap saja tak akan tinggal diam. Karena tayangan-tayangan yang mengumbar kemolekan tubuh menduduki rating tinggi dan berarti pemasukan iklan yang sangat besar.
Jadi penghargaan itu membuktikan, bahwa infotainment adalah komersialisasi. Karena nampaknya ini, sebagai tanda “terimakasih” sebab telah menaikkan rating program acara mereka. Inilah kapitalisme ala infotainment. Dalam kapitalisme, apa saja yang bisa dijadikan komoditas dagangan.
Undang-Undang No. 21 Tahun 1982, tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 tahun 1966, tentang ketentuan-ketentuan pokok pers sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 4 tahun 1967. Pada Pasal 2 ditambah ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut: Dalam rangka meningkatkan, peranannya dalam pembangunan, pers berfungsi sebagai penyebar informasi yang objektif, menyalurkan aspirasi rakyat, meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat serta melakukan kontrol sosial yang konstruktif. Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara Pemerintah, pers dan masyarakat. Semestinya, jika infotainment ingin diakui sebagai bagian dari aktivitas jurnalisme, maka sebagai program media informasi, mereka harus menyadari, pada diri mereka melekat fungsi to educate dan to influence (mendidik dan mempengaruhi).
Pers di negara-negara bebas termasuk di Indonesia merupakan perusahaan yang jelas mencari keuntungan finansial. Meskipun demikian, tak berarti upayanya mencari keuntungan semata. Pers tak boleh kehilangan idealisme, tak boleh kehilangan identitasnya sebagai lembaga dinamakan pers.
Karena idealisme yang melekat pada lembaga kemasyarakatan ialah melakukan social control dengan menyatakan pendapatnya secara bebas, tetapi sudah tentu dengan perasaan tanggung jawab bila pers itu menganut social responbility. Jikalau infotainment tak melakukan ini, maka infotainmet tak pantas disebut bagian dari pers atau aktivitas jurnalisme, ia hanya memehuni selera public saja, bukan pada kepentingan public, dan infotainment tak ada ubahnya penjual kacang yang kacangnya laris manis terjual di jalanan.